Lumajang Pernah Punya Tokoh Besar di Zaman Singosari bernama Arya Wiraraja yang kemudian menjadi raja besar di Lamajang Tigang Juru. Kebesar...
Kawasan Situs Biting dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km. Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektar yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha.
Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan kotaraja ini disebut Arnon yang saat ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama "Benteng" karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh.
Hal Ihwal Kebesaran Negeri Lamajang Tigang Juru sangat erat kaitannya dengan peranan Arya Wiraraja sebagai Arsitek Dibalik Berdirinya Kerajaan Majapahit.
Prasasti Kudadu menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, Arya Wiraraja yang saat itu menjadi Adipati Sumenep bersedia memberikan suaka dan bantuan. Arya Wiraraja dengan diplomasi tingkat tingginya berhasil mengusahakan pengampunan politik terhadap Prabu Jayakatwang di Kediri. Legitimasi Kekuasaan Prabu Jayakatwang akan lebih kokoh jika bisa merangkul Raden Wijaya dari trah kertanegara sebagai raja bawahan dalam hirarki kekuasaannya.
Pembukaan ‘hutan Tarik’ yang diusulkan Arya Wiraraja juga merupakan strategi dua kaki, Memudahkan pengawasan atas Raden Wijaya dengan mempergunakan pasukan khusus dari Madura.
Prabu Jayakatwang tidak menyadari pembukaan hutan tarik sebagai desa yang kemudian bernama "Majapahit" adalah bagian dari skenario besar untuk melakukan pemberontakan dan kudeta dari dalam.
Pasukan Madura berbaur dan bahu membahu dengan pengikut Raden Wijaya untuk membangun Majapahit yang gemah ripah loh jinawi.
Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa Majapahit datanglah pasukan besar Mongol Tar Tar pimpinan Jendral Shih Pi yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati Raden Wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan.
Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing menjemput para putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata. Hal ini dikarenakan permintaan Arya Wiraraja dan Raden Wijaya agar para penjemput putri Jawa tersebut meletakkan senjata dikarenakan para putri yang dijanjikan masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi.
Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa Majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup, pasukan Ronggolawe dan Lembu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.
Setahun setelah pengusiran pasukan Mongol Tar Tar, menurut Kidung Harsawijaya, sesuai dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada 10 Nopember 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat menjadi Raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilayah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar I.
Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, dimana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi.
Sepeninggal Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja), salah seorang penerusnya yaitu Mpu Nambi diserang oleh Majapahit yang menyebabkan Lamajang Tigang Juru jatuh dan gugurnya Mpu Nambi yang juga merupakan Patih di Majapahit. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi.
Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada Tahun 1331 Masehi.
ingat lumajang ingat pemberontakan nambi yang konon terbesar dalam sejarah majapahit
ReplyDeletesemua pemberontakan menggoreskan duka yang mendalam terlebih jikalau orang-orang yang dalam sejarahnya punya andil dan jasa besar kemudian justru berhadap hadapan dengan sang pemerintah yang dulu disokongnya dengan sepenuh jiwa raga.
DeleteBukan hanya pemberontakan nambi yang menggoncangkan singasana majapahit melainkan juga pemberontakan ronggolawe, lembu sora di masa pemerintahan sanggramawijaya. Ada juga pemberontakan kuti , semi dan tanca dimasa pemerintahan jayanegara sang penerus tahta sanggramawijaya